THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 13 September 2009

PEMBANGUNAN KOTA MAKASSAR

Analisis Pembangunan Rumah Toko (Ruko )

Dewasa ini, pembangunan kota Makassar sedang pesat- pesatnya. Dimulai dengan mega proyek Flyover, dan pembangunan infrastruktur kota lainnya. Hal ini menyebabkan Makassar menjadi salah satu kota yang paling pesat pembangunannya di Indonesia timur.
Namun, di balik semua itu, ternyata struktur tata ruang kota Makassar ternyata paling ambruadul, dan tak beraturan. Salah satu contoh adalah keberadaan rumah toko (ruko). Pembangunan tempat- tempat ini di seantero kota Makassar menimbulkan dampak yang luar biasa. Dari segi perekonomian, keberadaan ruko ruko tersebut semakin meningkatkan ratio perdagangan dan perputaran rupiah di kota daeng ini. Namun, tak dapat di pungkiri, dengan menjamurnya ruko, menyebabkan penyempitan lahah yang cukup signifikan di kota Makassar. Salah satu masalah yang paling tampak adalah posisi ruko yang tepat berada di sisi jalan poros kota. Setiap hari, kita bisa menyaksikan titik kemacetan di kota Makassar hampir selalu terjadi di depat pusat pertokoan/perbelanjaan. Bahkan keberadaan aparat yang mengatur lalu lintas pun seakan tidak ada artinya dengan antrian kendaraan yang terjebak macet setiap pagi. Lalu di mana letak permasalahannya??
Ternyata, menurut dinas tata ruang kota, masalahnya terletak pada kelalaian pihak pemilik ruko yang tidak menyediakan lahan parkir yang memadai, sehingga masyarakat yang singgah berbelanja, memarkir kendaraannya di bahu jalan, yang tentu saja mempersempit jalur kendaraan yang melintas. Namun ada satu pendapat controversial yang timbul di masayarakat, yang mengatakan bahwa masalah ini terjadi dan semakin berlarut-larut karena kelalian pihak tata ruang kota, yang seenaknya member izin mendirikan bangunan (IMB ) tanpa terlebih dahulu melakukan survey lokasi.
Memang, tak dapat di pungkiri bahwa arus pasar global mau tidak mau, mendesak pihak pemprov untuk meningkatkan ratio perdagangan, salah satu caranya dengan menambah infratstruktur pendukung, seperti pasar modern, atau yang lebih di kenal dengan nama swalayan. Selain itu, juga memberikan dukungan sebesar-besarnya kepada pemilik modal yang ingin ikut meramaikan perdagangan di kota ini.
Hal ini secara politis mempengaruhi pemilik modal, terutama dari luar yang tertarik untuk berinvestasi di Makassar, namun tak dapat kita pungkiri, tersisihnya orang orang local bermodal kecil adalah salah satu dampak negatif yang nyata saat ini. Kini masayakat kota Makassar lebih tertarik untuk berbelanja di swalayan daripada di pasar-pasar tradisional yang mulai sepi konsumen. Dengan segala kenyamanan sarana dan prasarana yang tersedia di swalayan, masyarakat cenderung lebih memilih swalayan, meski harus mengeluarkan uang ekstra untuk itu.
Kenyataan ini, secara tidak langsung menjadi dilema bagi pemerintah kota. Di satu sisi ingin memberi tindakan tegas bagi ruko atau pusat perbelanjaan yang tidak memiliki fasilitas yang telah di tentukan, itu sama saja dengan menjauhkan investor. Klo tidak di tindak, justru pemkot yang dapat hujatan dari masyarakat. Yah, itulah resiko yang harus di jalani oleh sebuah kota yang sedang berkembang.

Sukseskah Peranan Mahasiswa Sebagai Sosial Control?Protogonis, atau Antagonis??

Dulu, ketika masih berstatus siswa, saya begitu kagum sekaligus penasaran terhadap sosok seorang mahasiswa. Begitu banyak opini public, baik itu pro maupun kontra terhadap keberadaan mereka yang berkoor begitu membahana sebagai social control. Banyak yang simpati, namun tak sedikit juga antipati terhadap apa yang mereka perjuangkan. Kebetulan kakak saya juga pernah menjadi seorang mahasiswa.
Kalau melihat sosoknya,rasanya ngeri juga membayangkan lingkungan kampus yang dipenuhi oleh orang – orang seperti dia. Gondrong, anarkis, tukang demo, dan banyak hal lainnya yang membuat saya merasa illfill jika sehari hari harus berinteraksi dengan orang orang seperti dia, sama sekali tidak mencerminkan sosok seorang civitas akademika terkemuka di kota daeng tercinta. Namun lambat laun, harus saya akui, ada satu poin yang patut di acungi jempol pada diri kakak saya itu. Sosok pemikir yang idealis, kritis, inovatif, dan luar biasa berani dalam mengaspirasikan ide ide dan gagasan yang ada dalam kepalanya. Tak jarang sering terjadi perdebatan sengit antara ayah dan kakak di rumah. Ayah yang cenderung khawatir dengan sikap kakak yang terlalu arogan dan blak-blakan di kampus, akan menghadirkan sikap permusuhan dari pihak birokrat yang nantinya akan membawa petaka bagi kakak. Namun, anjing menggongong, kafilah tetap berlalu. Kakak tetap kokoh pada apa yang di yakininya. Hal tersebut menimbulkan satu pertanyaan besar dalam diri saya, doktrinisasi seperti apa yang di dapat kakak di kampus???
Itu cuma satu dari sekian banyak kejadian yang saya alami, yang mulai ragu akan eksistensi mahasiswa di kalangan masyarakat. Apakah keberadaan mereka lebih bayak manfaat atau mudaratnya ? Pernah juga saya menyaksikan perkelahian sengit antara dua tukang becak di dekat rumah, lalu di lerai oleh seorang temannya. Ada satu perkataannya yang betul betul membuat saya gamang. Yang melerai itu berkata pada dua temannya yang bertengkar “ Kalian berdua taunya menyelesaikan masalah dengan berkelahi, KAYAK MAHASISWA SAJA!! “ .
PLAAK!!! Benar benar terasa tamparan di pipi saya ketika kalimat itu terucap. Sosok yang sempat membuat saya kagum, seorang tokoh yang menurut saya memiliki kekuatan besar untuk melakukan perubahan, ternyata mendapat pandangan yang begitu negatif di mata masyarakat. Sosok – sosok yang sanggup menghimpun kekuatan pergerakan yang dahsyat, yang sanggup meruntuhkan 32 tahun pemerintahan orde baru,begitu rendah martabatnya, seakan- akan pejuang- pejuang reformasi itu hanya pembawa stigma-stigma kehancuran, dianggap degenerasi bagi penerus tongkat estafet pembangunan bangsa. Apakah pernyataan kakak bahwa mahasiswa adalah social control, the next leader, hanya sekedar apologi atas beberapa aksi mereka yang mungkin bisa di golongkan kasar menjurus anarkis? Pernah sekali saya terjebak kemacetan gara gara ada sekelompok mahasiswa yang melakukan demonstrasi menentang kenaikan BBM. Mereka memblokir jalan, sehingga jangankan mobil, motor pun tidak bisa lewat sama sekali. Saat itu saya berada di dalam sebuah angkutan umum. Jujur, tak satu pun penumpang di dalam kendaraan yang saya tumpangi memberi simpati kepada aksi mahasiswa tersebut. Bahkan ada yang blak-blakan mengatakan, bahwa dia lebih memilih menerima kenaikan BBM, daripada harus terjebak macet seperti ini. Apa ini bentuk ungkapan terima kasih masyarakat kepada pemuda pemudi yang rela berpanas panas ria, wajah tercoreng debu, membawa spanduk, dan berorasi hingga pita suara mereka nyaris putus tanpa di bayar sepeser pun?Apa ini bentuk social control yang kakak katakan? Apa ini sosok-sosok yang di anggap the next leader?
Sepulang di rumah saya pun menceritakan kejaadian yang saya alami itu pada kakak, yang ternyata juga ada di antara kerumunan aktivis tadi. Namun kakak cuma mengeluarkan satu pendapat singkat “ Untuk Mencapai suatu tujuan besar, di butuhkan pengorbanan yang tidak sedikit pula”. Kata kakak, itulah susahnya masyarakat Indonesia sekarang. Selalu ingin mendapat kehidupan yang lebih baik, tapi tidak sanggup menjalani proses metamorfosisnya. Menurut saya ,ada benarnya juga apa yang kakak bilang. Namun umpatan,cacian dan makian seisi kendaraan umum yang saya tumpangi tadi terus mengiang di telinga. Beginikah yang di namakan social control? Apakah sikap antipati masyarakat merupakan suatu nilai positif bagi kakak dan rekan rekan seperjuangannya. Apakah itu suatu pertanda bahwa apa yang mereka perjuangkan tidak sia-sia?
Pengalaman pengalaman tersebut mulai menimbulkan keraguan dalam hati saya, sama sekali tidak masuk akal kalau ada sebuah interaksi sosial, di mana elemen-elemen yang ada di dalamnya saling bertolak belakang satu sama lain. Benar – benar berlawanan dengan semua pelajaran yang saya dapat tentang interaksi – interaksi sosial masyarakat. Apakah mahasiswa yang terlalu lugu dan percaya bahwa apa yang mereka lakukan pasti mendapat respon yang positif, atau masyarakat yang tidak sadar bahwa semua itu merupakan sebuah proses ke arah yang lebih baik. Suatu waktu saya mendapat kesempatan berbincang dengan kakak. Tak sungkan sungkan saya pun langsung menumpahkan semua unek-unek saya selama ini, sebab semua hal yang saya alami belakangan ini begitu menyudutkan posisi mahasiswa, yang sebentar lagi akan saya jalani juga, mengingat pengumuman kelulusan SMU tinggal menghitung hari. Kalau bisa, hari ini juga saya ingin mendapat kepastian dan menentukan sikap apa saya ingin menjadi mahasiswa, atau itu cuma sekedar fatamorgana indah di waktu datangnya cahaya harapan akan sebuah pemahaman idealisme baru.
Bukannya menjawab, kakak malah balik bertanya, saya mau jadi mahasiswa atau tidak? Katanya,dalam pemikiran seorang mahasiswa yang benar-benar mahasiswa,tidak ada wilayah abu-abu. Yang ada Cuma hitam atau putih, ya atau tidak? Kontan pernyataan kakak ini membuat saya untuk sesaat tidak dapat berkata apa-apa. Sambil tersenyum, dia melanjutkan, katanya tidak perlu terlalu memahami hitam itu apa, putih itu apa, ikuti saja kata hati mu, dan yakini. Karena, apa pun yang kamu yakini, itu adalah idealisme kamu, dan idealisme itu relatif, tidak ada satupun aturan yang harus mengikat seseorang untuk menganut idealisme tertentu. Lagian juga, tidak selama juga seorang mahasiswa harus menapak jalanan sama dengan dengan mahasiswa lain. Itu merupakan pilihan, yang memilih itu kita, bukan pilihan yang memilihkan jalan untuk kita tapaki. Yang jelas jalani saja apa adanya, kata kakak semua jawaban akan datang dengan sendirinya selama kita mau membuka mata dan hati kita lebar-lebar.
Sekarang, saya sudah mulai memahami sedikit demi sedikit apa yang kakak pernah katakan dulu. Ternyata benar apa yang dia ucapkan, bahwa semua pertanyaan akan terjawab dengan sendirinya ketika saya sendiri telah menapaki jalan tersebut. Ternyata menjadi seorang mahasiswa, tidaklah seberat apa yang saya bayangkan dulu. Semua terasa tanpa beban ketika kita benar benar meyakini apa yang kita kerjakan, apapun halangan dan rintangan yang kita dapatkan, seakan hanya sebutir kerikil tak berarti. Selama kita yakin bahwa apa yang kita lakukan itu benar, hanya Tuhan yang bisa menahan langkah kita untuk terus maju. Namun sekarang muncul suatu pertanyaan skeptis, dalam peranan kita sebagai sosial control, apakah kita ini tokoh protogonis, atau antagonis?
Ketika memikirkan hal tersebut, yang muncul malah hal-hal pragmatis yang sama sekali tidak memuaskan. Pada satu sisi saya ingin sekali menjadi protogonis. Namun pengalaman pengalaman yang dulu seakan meneriakkan dengan lantang ke telinga saya, bahwa saya hanyalah seorang antagonis sejati dari sebuah dagelan kehidupan masyarakat yang penuh intrik dan kepentingan pribadi individualis sejati. Lalu, apakah itu bayaran yang pantas bagi kita yang terus memperjuangkan kebenaran dan hak hak manusia? Menjadi seorang antagonis?
Namun bagi saya, peranan adalah bagian dari manifestasi perjuangan. Syarat untuk menang ada tiga, berjuang, berjuang, dan terus berjuang!!!!!
Sesuai dengan pesan kakak “ Keep On Figting Till The end. The Days never end If I Wish To See The rising Sun Tomorrow “

Kamis, 19 Maret 2009

Create Fake Magazine Covers with your own picture at MeOnMag.com

Selasa, 17 Maret 2009

quiz

Jumat, 27 Februari 2009

Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Kamis, 26 Februari 2009

popwindow